Jumat, 28 Januari 2011

[Masih Inget] Salah satu Koruptor Paling dicari di Indonesia(belum ketemu)

masih inget Edi Tansil gak?anak2 tahun 80an mungkin masih kacil waktu itu mungkin tau dikit, klo ank2 70an pasti udah faham,,, buronan kelas kakap korupsi 565 Juta US$ atao 1.5 Triliun pada jaman nya, angka yang fantastis untuk mengacaukan negara.. yang kasus nya hampir sama dengan kasus Anggaro dan Anggodo., dan menjadi 1 dari antara 12 buronan paling di cari Berikut info Edi Tansil dan cerita2 nya..

riwayat

(oiya, Edi Tansil disini nama sebanarnya, bukan singkatan Ejakulasi Dini Tanpa Hasil :D)

Eddy Tansil (lahir tahun 1954) adalah seorang pengusaha Indonesia keturunan Tionghoa yang keberadaanya kini tidak diketahui. Ia melarikan diri dari penjara Cipinang, Jakarta, pada tanggal 4 Mei 1996 saat tengah menjalani hukuman 20 tahun penjara karena terbukti menggelapkan uang sebesar 565 juta dolar Amerika (sekitar 1,5 triliun rupiah dengan kurs saat itu) yang didapatnya melalui kredit Bank Bapindo melalui grup perusahaan Golden Key Group.

Pengadilan Negeri Jakarta Pusat menghukum Eddy Tansil 20 tahun penjara, denda Rp 30 juta, membayar uang pengganti Rp 500 miliar, dan membayar kerugian negara Rp 1,3 triliun. Sekitar 20-an petugas penjara Cipinang diperiksa atas dasar kecurigaan bahwa mereka membantu Eddy Tansil untuk melarikan diri.

Sebuah LSM pengawas anti-korupsi, Gempita, memberitakan pada tahun 1999 bahwa Eddy Tansil ternyata tengah menjalankan bisnis pabrik bir di bawah lisensi perusahaan bir Jerman, Becks Beer Company, di kota Pu Tian, di propinsi Fujian, China.

Pada tanggal 29 Oktober 2007, Tempo Interactive memberitakan bahwa Tim Pemburu Koruptor (TPK) - sebuah tim gabungan dari Kejaksaan Agung, Departemen Hukum dan HAM, dan Polri, telah menyatakan bahwa mereka akan segera memburu Eddy Tansil. Keputusan ini terutama didasari adanya bukti dari PPATK (Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan) bahwa buronan tersebut melakukan transfer uang ke Indonesia satu tahun sebelumnya.

kasus

SIAPAKAH Eddy Tansil? Pada paspornya tertulis nama Tan Eddy Tansil alias Tan Tju Fuan, kelahiran Ujungpandang, 2 Februari 1934. Tapi semua koran mengutip: Eddy Tansil, terlahir Tan Tjoe Hong, 2 Februari 1953.

Diduga, ia tidak menuntaskan kuliah di sana. Tapi bisa dipastikan, sejak itu Eddy langsung terjun ke kancah bisnis. Ada yang menduga, usianya kini sekitar 46 tahun.

Eddy merintis usaha sebagai agen tunggal pemegang merek Bajaj, Tunas Bekasi Motor, pada awal tahun 70-an. Bersama ayahnya, Harri Tansil alias Tan Tek Hoat, ia membangun industri perakitan kendaraan bermotor teknologi India itu di daerah Tambun, Bekasi. Saat itu sedang ramai kampanye daerah bebas becak, dan Eddy melihat peluang: menyulap motor ''vespa'' itu menjadi kendaraan umum roda tiga. Ia sukses. ''Bisnis empuk,'' katanya mengenang masa-masa emas itu.

Maklum, pemasaran Bajaj juga dimonopoli olehnya. Eddy menjual Bajaj dengan kredit ringan, bahkan mengusahakan kredit investasi kecil (KIK) bagi pembelinya. Orang pun berebut mengganti becaknya dengan Bajaj. Dan kantor Eddy di Pecenongan segera saja dipenuhi ahli Bajaj yang didatangkan langsung dari India.

Pada puncak masa jayanya itu, Eddy mengambil alih perusahaan perakit sepeda motor Kawasaki. Tak jelas berapa besar investasinya di situ, tapi kabarnya ia sempat berutang US$ 25 juta kepada BCA demi si Kawasaki.

Karena terlalu menggebu barangkali, ia tidak memperhitungkan perubahan kebijakan Pemerintah. Tak lama setelah Eddy mengambil Kawasaki, Pemerintah melarang mobil roda tiga sebagai kendaraan umum. Produksi Bajaj dihentikan, sementara Kawasaki dengan Binternya tersendat di pasaran -- kalah bersaing dengan Suzuki dan Honda.

Awal 1980, Tunas Bekasi bangkrut. Utangnya di BCA tak terbayar. Delapan tahun kemudian, ia harus melepaskan pabrik perakitan di Tambun ke pemilik BCA, Liem Sioe Liong. Pabrik itu juga yang menjadi cikal bakal pusat otomotif terpadu milik Indomobil Group.

Tapi usaha Eddy tak sampai kolaps. Ia masih sempat menyelamatkan industri moulding dan diesnya, PT Materindo Supra Metal Works. Pabrik penghasil cetakan baja pres ini kelak menjadi salah satu tulang punggung kerajaan bisnis Eddy Tansil.

Kecuali itu, pada tahun 1983 Eddy memboyong Beck's Beer dari Bremen ke Bogor, Jawa Barat. Bir cap kunci itu memang sedang populer di Eropa. Bahkan ''negeri bir'' Amerika Serikat pun dibanjiri produk Jerman ini. Berdasarkan rekor itu, Eddy mengadu peruntungan baru.

Dengan modal awal Rp 2 miliar, ia mendirikan PT Rimba Subur Sejahtera (RSS), berkongsi dengan Koesno Achzan Jein, pensiunan mayor jenderal Angkatan Darat yang sejak itu menjadi mitranya. Ia mendatangkan mesin baru, tenaga penyelia, bahan baku malt, bahkan ragi khusus langsung dari Jerman. Pabriknya semua terkomputerisasi, dan bisa dibilang tercanggih di Asia Tenggara.

Pendeknya, Bir Kunci van Bogor 100% seperti aslinya di Bremen. Tak hanya itu. Untuk menerobos pagar persaingan yang ketat, Eddy mendirikan dua distributor: Terang Meteor Cahaya dan Sinar Beck Birindo. Dengan persiapan yang demikian rapi, ia yakin bakal sukses. ''Kita tak melihat tantangan besar yang tak dapat diatasi,'' kata Koesno, yang dipercaya sebagai direktur utama di hampir semua perusahaan Eddy Tansil. November 1986, Bir Kunci mulai diproduksi. Dengan optimistis duet Eddy-Koesno membanjiri pasar 25 juta liter bir per tahun, hampir sepertiga dari total produksi nasional saat itu.

Tapi lidah Indonesia agaknya tak sama dengan Jerman atau Amerika. Konsumen tak mudah membanting seleranya pada produk bir baru. Kendati sempat dijuluki ''bir mewah'', si Kunci tak lama bertahan. Hanya dalam dua tahun, Eddy terpaksa menutup produksi bir kunci di Indonesia.

Tapi ia tidak jera. Semua mesin pembuat bir ia boyong ke Fujian. Di provinsi Cina Daratan itu, ia mengolah bir dengan merek sama. Dan menurut sumber yang mengetahui, Eddy sukses besar sampai-sampai dijuluki ''Bapak Bir Fujian''.

Sukses ini membuat ia dilirik seorang kenalan lama, Menteri Tenaga Kerja Sudomo -- kini Ketua DPA. Pak Menteri ini teman dekat ayah Eddy. Kata Sudomo, ''Daripada tanam modal di negeri orang, apa tak lebih baik di Indonesia?''

Dengan dukungan Sudomo, Eddy membawa pulang hoki bir kunci dari Fujian dengan menamakan holding-nya sebagai Golden Key, si kunci emas.

Sudomolah yang menyarankan Eddy memasuki industri petrokimia. Alasannya, prospeknya cerah. Karena itu, pada tahun itu juga, 1987, Golden Key mengajukan izin untuk sejumlah proyek. Ada enam industri petrokimia dan satu perusahaan komponen elektronik yang lolos. Total investasinya mencapai setengah trilun rupiah.

Dari tujuh proyek, baru dua yang dibangun: Glasfibindo Indah, penghasil 5.000 ton kaca serat saban tahun, dan PT Sukma Beta Sempurna, produsen printed circuit board (PCB). Glasfibindo, satu-satunya penghasil kaca serat di negeri ini, sejak empat tahun lalu sudah mengekspor sebagian produknya ke Taiwan dan Korea.

Tapi, lima proyek petrokimia lainnya batal, termasuk industri carbon black, styrene butadiene rubber, dan ethylene glycol. Beberapa proyek ''prestisius'' yang pernah diajukannya juga terhenti sampai izin BKPM saja. Ada apa? Penyebab utama agaknya ini: industri kimia sudah dikuasai produsen raksasa yang punya modal dan kongsi superkuat. Dan Eddy terjepit di antara lawan-lawan yang bukan kelasnya.

Dalam industri PTA tadi, di luar Pertamina Plaju, setidaknya ada tiga raksasa yang sedang membangun industri bahan baku serat sintetis polyester. Mereka adalah Bakrie Brothers (berkongsi dengan Mitsubishi Corp.), lalu Salim Group yang menggandeng Amoco Chemical Company dari Amerika, dan Humpuss Grup milik Tommy Soeharto.

Untung, Eddy sempat mengendalikan ambisinya. Tapi, untuk proyek styrene monomer (bijih plastik) yang kini diributkan macet, ia ngotot.

Rencananya, Eddy melalui PT Graha Swakarsa Prima akan menanam investasi sekitar Rp 450 miliar untuk menghasilkan bahan baku plastik 120 ribu ton. Padahal, tiga tahun sebelumnya, Bimantara, yang didukung jaringan pemasaran Toyo Menka (Jepang) dengan teknologi Mosanto Lummus (Amerika), juga membangun industri yang sama.

Pabrik Bimantara justru jauh lebih murah. Investasinya cuma Rp 200 miliar, tapi sudah menghasilkan 100 ribu ton setahun. Dan di luar Bimantara masih ada Risyad Brasali Styrindo milik Ibrahim Risyad dan Polichem Indonesia.

Melihat persaingan seperti itu, kalaupun proyek-proyek Golden Key nanti berdiri dan berproduksi, masih perlu dipertanyakan, apakah ia mampu melewati tahap persaingan yang berat. Tak cuma itu. Golden Key murni PMDN. Ia tak punya partner bisnis yang kuat untuk mendukung pemasaran di luar negeri.

Apalagi kalau mengingat proyeknya telah mengalami banyak hambatan. Peralatan yang dipesannya dari Sinopec itu, misalnya, tak bisa dipakai karena gagal mencapai spesifikasi lisensi dari Union Carbide Coorporation Program. Karena itu, Eddy terpaksa ganti partner dan proyeknya tertunda cukup lama. Akibatnya, jadwal cicilan utangnya pun ikut tertunda. Dan seperti yang dipersoalkan oleh DPR: macet

Tidak ada komentar:

Posting Komentar